KAJIAN tentang implikasi Undang-Undang No. 32 Tahun 2009 tentang
Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup terhadap kondisi
kesehatan lingkungan belum banyak dilakukan. Kebanyakan kajian
dilakukan mengenai implikasi UU ini terhadap migas dan sumber daya alam
(kajian ekonomi sumber daya) dan kajian ilmu lingkungan itu sendiri.
Kesehatan lingkungan sebagai bagian dari disiplin ilmu kesehatan masyarakat sebenarnya memiliki relevansi tersendiri dengan UU No. 32/2009. Mengutip Notoatmodjo (2003), kesehatan lingkungan pada hakikatnya adalah suatu kondisi atau keadaan lingkungan yang optimum sehingga berpengaruh positif terhadap terwujudan status kesehatan yang optimum pula. Ruang lingkup kesehatan lingkungan tersebut, antara lain mencakup penyediaan air bersih, pembuangan sampah, pembuangan air kotor (limbah), pembuangan kotoran manusia (tinja), dan sebagainya. Sementara usaha kesehatan lingkungan adalah suatu usaha untuk memperbaiki atau mengoptimalkan lingkungan hidup manusia agar merupakan media yang baik untuk terwujudnya kesehatan yang optimum bagi manusia yang hidup didalamnya.
Dari segi keilmuan, ilmu kesehatan masyarakat sangat berhubungan erat dengan ilmu lingkungan, khususnya ilmu kesehatan lingkungan (environment health science) dengan obyek ilmu yang sama pada masalah pengolahan air limbah. Soeparman (2002) menyebutkan air limbah merupakan sisa dari hasil aktifitas yang dilakukan manusia sebagai makhluk hidup, individu maupun makhluk sosial. Kehidupan manusia yang dominan dan menentukan terjadinya perubahan dari berbagai aspek kehidupan, sedang lingkungannya dituntut untuk memenuhi berbagai kebutuhan hidupnya. Beberapa penyakit yang ditimbulkan oleh pembuangan sampah dan air limbah yang kurang baik serta lingkungan yang tidak sehat dan sanitasi yang kurang baik, di antaranya adalah: diare, demam berdarah, disentri, hepatitis A, kolera, tiphus, cacingan, dan malaria.
Dasar keilmuan kesehatan lingkungan adalah mengidentifikasi, mengukur, menganalisis, menilai, memprediksi bahaya berbagai pajanan di lingkungan, dan melakukan pengendalian dengan tujuan mencegah dan melindungi kesehatan masyarakat dan ekosistem. Ilmu kesehatan lingkungan mempelajari interaksi dinamis berbagai pajanan atau agen lingkungan (fisik, radiasi, kimia, biologi, dan perilaku) melalui wahana udara, air, limbah, makanan dan minuman, vektor atau binatang pembawa penyakit, dan manusia di lingkungan pemukiman, tempat kerja atau sekolah, tempat-tempat umum maupun perjalanan dengan risiko dampak kesehatan (kejadian penyakit) pada kelompok manusia atau masyarakat (FKM-UI, 2010).
Problematika Kesehatan Lingkungan
Pencemaran lingkungan sebagian besar disebabkan oleh ulah manusia sendiri. Berdasarkan lingkungan yang mengalami pencemaran, secara garis besar pencemaran lingkungan dapat dikelompokkan menjadi pencemaran air, tanah, dan udara.
Pencemaran pada tanah dan air biasanya terjadi pada areal perairan seperti laut, sungai, danau, air tanah, dan seterusnya. Sementara pencemaran pada tanah adalah pencemaran yang terjadi pada wilayah daratan. Prevalensi pencemaran air dan tanah berlangsung sangat massif sehingga membuat daya dukung alam sudah tidak mampu mengembalikan pada kondisi sediakala. Karena itu alam kehilangan kemampuan untuk memurnikan pencemaran yang telah terjadi. Pencemaran yang dominan dan memperparah kondisi pengrusakan lingkungan adalah sampah dan zat seperti sampah plastik, deterjen, DDT (Dikloro Difenil Trikloroetana) yang semuanya tidak ramah lingkungan.
Faktor-faktor penyebab pencemaran lingkungan pada tanah adalah: pertama, sampah buangan manusia dari pemukiman penduduk; Kedua, zat kimia dari rumah penduduk, industri, pertanian, dan sebagainya; Ketiga, erosi karena curah hujan yang tinggi. Sementara penyebab pencemaran pada air umumnya karena akibat dari penggunaan zat kimia pemberantas hama DDT, utamanya di pedesaan. DDT banyak digunakan oleh petani untuk memberantas hama yang menyerang tanaman pertanian.
Akibat dari penggunaan DDT, banyak binatang dalam mata rantai makanan yang panjang akan terkena dampaknya. Proses mata rantai makanan dari satu hewan ke hewan lain yang mengakumulasi zat DDT akan ikut tercemar zat DTT, termasuk pada manusia. DDT yang telah masuk ke dalam tubuh kemudian larut dalam lemak, terakumulasi sepanjang waktu hingga mengakibatkan efek negatif.
Penggunaan DDT berdampak pada biological magnification (pembesaran biologis) pada organisme sehingga dapat merusak jaringan tubuh setiap makhluk hidup yang secara perlahan dapat menyebabkan penyakit kanker, dapat menimbulkan otot kejang hingga kelumpuhan, serta dapat menghambat proses pengapuran dinding telur pada hewan bertelur yang mengakibatkan telur itu tidak dapat menetas.
Sementara pencemaran udara terjadi bila pada lapisan udara mengandung unsur-unsur yang mengotori udara. Adapun bentuk pencemar udara berbagai macam jenisnya: ada yang berbentuk gas dan ada yang berbentuk partikel cair atau padat. Pencemar udara berbentuk gas adalah karbon monoksida, senyawa belerang (SO2 dan H2S), senyawa nitrogen (NO2), dan chloroflourocarbon (CFC). Pencemar udara berbentuk partikel cair titik-titik air atau kabut sedang yang berbentuk padat berupa debu atau abu vulkanik.
Secara teoritis, pencemaran udara dalam bentuk gas terjadi bila beberapa gas dengan jumlah melebihi batas toleransi lingkungan masuk ke lingkungan udara sehingga dapat mengganggu kehidupan makhluk hidup. Misalnya kadar CO2 yang terlampau tinggi di udara dapat menyebabkan suhu udara di permukaan bumi meningkat dan dapat mengganggu sistem pernapasan. Kadar gas CO lebih dari 100 ppm di dalam darah dapat merusak sistem saraf dan dapat menimbulkan kematian. Gas SO2 dan H2S dapat bergabung dengan partikel air dan menyebabkan hujan asam. Keracunan NO2 dapat menyebabkan gangguan sistem pernapasan, kelumpuhan, dan kematian. Sementara itu, CFC dapat menyebabkan rusaknya lapian ozon di atmosfer. Partikel yang mencemari udara dapat berasal dari pembakaran bensin. Bensin yang digunakan dalam kendaraan bermotor biasanya dicampur dengan senyawa timbal agar pembakarannya cepat mesin berjalan lebih sempurna. Timbal akan bereaki dengan klor dan brom membentuk partikel PbClBr. Partikel tersebut akan dihamburkan oleh kendaraan melalui knalpot ke udara sehingga akan mencemari udara.
Sementara pencemaran udara yang berbentuk partikel cair berupa kabut dapat menyebabkan sesak napas jika terhiap ke dalam paru-paru. Bila dalam bentuk padat dapat berupa debu atau abu vulkanik merupakan sumber penyakit yang dapat mengganggu kesehatan manusia. Selain debu dan abu vulkanik, partikel padat dapat juga berasal dari makhluk hidup, misalnya bakteri, spora, virus, serbuk sari, atau serangga-serangga yang telah mati.
Selain itu, masalah produk rekayasa genetik masih kontroversi di seluruh dunia karena baik ilmuwan, pemerintah maupun pengembang produk rekayasa genetik belum bisa memastikan keamanan dan efek negatifnya bagi kesehatan manusia dan lingkungan hidup. Jadi masyarakat hanya ditekankan prinsip kehati-hatian (precautionary principle) dalam menggunakan dan mengonsumsi produk rekayasa genetik.
UU No. 32/2009 sebagai Solusi
Perkembangan baru dalam UU ini adalah pengaturan masalah rekayasa genetika, sebelumnya dalam UU Lingkungan Hidup yang lama (UU No. 23/1997) hanya menyebutkan jasad renik. Produk rekayasa genetik diatur dalam Pasal 69 dan Pasal 101. Dalam Pasal 69 ayat 1.g. menyebutkan bahwa setiap orang dilarang melepaskan produk rekayasa genetik ke media lingkungan hidup yang bertentangan dengan peraturan perundang-undangan atau izin lingkungan. Sedang pada Pasal 101 menyebutkan bahwa setiap orang yang melepaskan dan/atau mengedarkan produk rekayasan genetic dipidana dengan pidana penjara paling singkat satu tahun dan paling lama tiga tahun atau denda paling sedikit Rp1.000.000.000 (satu miliar rupiah) dan paling banyak Rp3.000.000.000,00 (tiga miliar rupiah).
Dengan adanya pengaturan rekayasa genetik dalam UU, maka Departemen Kesehatan bersama Badan POM dan Kementerian Negara Lingkungan Hidup dapat bekerjasama lintas departemen mengatur pelabelan produk rekayasa yang dijual bebas di pasar. Dengan demikian, masyarakat sebagai konsumen dapat membedakan produk yang mengandung GMO (Genetical Modified Organism).
Keterlibatan masyarakat dalam pengawasan perlindungan lingkungan hidup dalam UU No. 32/2009 merupakan perkembangan bagus yang patut diapresiasi. Hal ini terlihat dalam Pasal 70 UU yang disahkan pada 3 Oktober 2009 tersebut. Dari segi pengawasan dan penegakan hukumnya, UU No. 32/2009 lebih ketat karena bukan hanya pelaku kejahatan lingkungan (biasanya pelaku usaha) yang bisa terjerat pidana tetapi juga pejabat negara yang bersangkutan. (*)
Kesehatan lingkungan sebagai bagian dari disiplin ilmu kesehatan masyarakat sebenarnya memiliki relevansi tersendiri dengan UU No. 32/2009. Mengutip Notoatmodjo (2003), kesehatan lingkungan pada hakikatnya adalah suatu kondisi atau keadaan lingkungan yang optimum sehingga berpengaruh positif terhadap terwujudan status kesehatan yang optimum pula. Ruang lingkup kesehatan lingkungan tersebut, antara lain mencakup penyediaan air bersih, pembuangan sampah, pembuangan air kotor (limbah), pembuangan kotoran manusia (tinja), dan sebagainya. Sementara usaha kesehatan lingkungan adalah suatu usaha untuk memperbaiki atau mengoptimalkan lingkungan hidup manusia agar merupakan media yang baik untuk terwujudnya kesehatan yang optimum bagi manusia yang hidup didalamnya.
Dari segi keilmuan, ilmu kesehatan masyarakat sangat berhubungan erat dengan ilmu lingkungan, khususnya ilmu kesehatan lingkungan (environment health science) dengan obyek ilmu yang sama pada masalah pengolahan air limbah. Soeparman (2002) menyebutkan air limbah merupakan sisa dari hasil aktifitas yang dilakukan manusia sebagai makhluk hidup, individu maupun makhluk sosial. Kehidupan manusia yang dominan dan menentukan terjadinya perubahan dari berbagai aspek kehidupan, sedang lingkungannya dituntut untuk memenuhi berbagai kebutuhan hidupnya. Beberapa penyakit yang ditimbulkan oleh pembuangan sampah dan air limbah yang kurang baik serta lingkungan yang tidak sehat dan sanitasi yang kurang baik, di antaranya adalah: diare, demam berdarah, disentri, hepatitis A, kolera, tiphus, cacingan, dan malaria.
Dasar keilmuan kesehatan lingkungan adalah mengidentifikasi, mengukur, menganalisis, menilai, memprediksi bahaya berbagai pajanan di lingkungan, dan melakukan pengendalian dengan tujuan mencegah dan melindungi kesehatan masyarakat dan ekosistem. Ilmu kesehatan lingkungan mempelajari interaksi dinamis berbagai pajanan atau agen lingkungan (fisik, radiasi, kimia, biologi, dan perilaku) melalui wahana udara, air, limbah, makanan dan minuman, vektor atau binatang pembawa penyakit, dan manusia di lingkungan pemukiman, tempat kerja atau sekolah, tempat-tempat umum maupun perjalanan dengan risiko dampak kesehatan (kejadian penyakit) pada kelompok manusia atau masyarakat (FKM-UI, 2010).
Problematika Kesehatan Lingkungan
Pencemaran lingkungan sebagian besar disebabkan oleh ulah manusia sendiri. Berdasarkan lingkungan yang mengalami pencemaran, secara garis besar pencemaran lingkungan dapat dikelompokkan menjadi pencemaran air, tanah, dan udara.
Pencemaran pada tanah dan air biasanya terjadi pada areal perairan seperti laut, sungai, danau, air tanah, dan seterusnya. Sementara pencemaran pada tanah adalah pencemaran yang terjadi pada wilayah daratan. Prevalensi pencemaran air dan tanah berlangsung sangat massif sehingga membuat daya dukung alam sudah tidak mampu mengembalikan pada kondisi sediakala. Karena itu alam kehilangan kemampuan untuk memurnikan pencemaran yang telah terjadi. Pencemaran yang dominan dan memperparah kondisi pengrusakan lingkungan adalah sampah dan zat seperti sampah plastik, deterjen, DDT (Dikloro Difenil Trikloroetana) yang semuanya tidak ramah lingkungan.
Faktor-faktor penyebab pencemaran lingkungan pada tanah adalah: pertama, sampah buangan manusia dari pemukiman penduduk; Kedua, zat kimia dari rumah penduduk, industri, pertanian, dan sebagainya; Ketiga, erosi karena curah hujan yang tinggi. Sementara penyebab pencemaran pada air umumnya karena akibat dari penggunaan zat kimia pemberantas hama DDT, utamanya di pedesaan. DDT banyak digunakan oleh petani untuk memberantas hama yang menyerang tanaman pertanian.
Akibat dari penggunaan DDT, banyak binatang dalam mata rantai makanan yang panjang akan terkena dampaknya. Proses mata rantai makanan dari satu hewan ke hewan lain yang mengakumulasi zat DDT akan ikut tercemar zat DTT, termasuk pada manusia. DDT yang telah masuk ke dalam tubuh kemudian larut dalam lemak, terakumulasi sepanjang waktu hingga mengakibatkan efek negatif.
Penggunaan DDT berdampak pada biological magnification (pembesaran biologis) pada organisme sehingga dapat merusak jaringan tubuh setiap makhluk hidup yang secara perlahan dapat menyebabkan penyakit kanker, dapat menimbulkan otot kejang hingga kelumpuhan, serta dapat menghambat proses pengapuran dinding telur pada hewan bertelur yang mengakibatkan telur itu tidak dapat menetas.
Sementara pencemaran udara terjadi bila pada lapisan udara mengandung unsur-unsur yang mengotori udara. Adapun bentuk pencemar udara berbagai macam jenisnya: ada yang berbentuk gas dan ada yang berbentuk partikel cair atau padat. Pencemar udara berbentuk gas adalah karbon monoksida, senyawa belerang (SO2 dan H2S), senyawa nitrogen (NO2), dan chloroflourocarbon (CFC). Pencemar udara berbentuk partikel cair titik-titik air atau kabut sedang yang berbentuk padat berupa debu atau abu vulkanik.
Secara teoritis, pencemaran udara dalam bentuk gas terjadi bila beberapa gas dengan jumlah melebihi batas toleransi lingkungan masuk ke lingkungan udara sehingga dapat mengganggu kehidupan makhluk hidup. Misalnya kadar CO2 yang terlampau tinggi di udara dapat menyebabkan suhu udara di permukaan bumi meningkat dan dapat mengganggu sistem pernapasan. Kadar gas CO lebih dari 100 ppm di dalam darah dapat merusak sistem saraf dan dapat menimbulkan kematian. Gas SO2 dan H2S dapat bergabung dengan partikel air dan menyebabkan hujan asam. Keracunan NO2 dapat menyebabkan gangguan sistem pernapasan, kelumpuhan, dan kematian. Sementara itu, CFC dapat menyebabkan rusaknya lapian ozon di atmosfer. Partikel yang mencemari udara dapat berasal dari pembakaran bensin. Bensin yang digunakan dalam kendaraan bermotor biasanya dicampur dengan senyawa timbal agar pembakarannya cepat mesin berjalan lebih sempurna. Timbal akan bereaki dengan klor dan brom membentuk partikel PbClBr. Partikel tersebut akan dihamburkan oleh kendaraan melalui knalpot ke udara sehingga akan mencemari udara.
Sementara pencemaran udara yang berbentuk partikel cair berupa kabut dapat menyebabkan sesak napas jika terhiap ke dalam paru-paru. Bila dalam bentuk padat dapat berupa debu atau abu vulkanik merupakan sumber penyakit yang dapat mengganggu kesehatan manusia. Selain debu dan abu vulkanik, partikel padat dapat juga berasal dari makhluk hidup, misalnya bakteri, spora, virus, serbuk sari, atau serangga-serangga yang telah mati.
Selain itu, masalah produk rekayasa genetik masih kontroversi di seluruh dunia karena baik ilmuwan, pemerintah maupun pengembang produk rekayasa genetik belum bisa memastikan keamanan dan efek negatifnya bagi kesehatan manusia dan lingkungan hidup. Jadi masyarakat hanya ditekankan prinsip kehati-hatian (precautionary principle) dalam menggunakan dan mengonsumsi produk rekayasa genetik.
UU No. 32/2009 sebagai Solusi
Perkembangan baru dalam UU ini adalah pengaturan masalah rekayasa genetika, sebelumnya dalam UU Lingkungan Hidup yang lama (UU No. 23/1997) hanya menyebutkan jasad renik. Produk rekayasa genetik diatur dalam Pasal 69 dan Pasal 101. Dalam Pasal 69 ayat 1.g. menyebutkan bahwa setiap orang dilarang melepaskan produk rekayasa genetik ke media lingkungan hidup yang bertentangan dengan peraturan perundang-undangan atau izin lingkungan. Sedang pada Pasal 101 menyebutkan bahwa setiap orang yang melepaskan dan/atau mengedarkan produk rekayasan genetic dipidana dengan pidana penjara paling singkat satu tahun dan paling lama tiga tahun atau denda paling sedikit Rp1.000.000.000 (satu miliar rupiah) dan paling banyak Rp3.000.000.000,00 (tiga miliar rupiah).
Dengan adanya pengaturan rekayasa genetik dalam UU, maka Departemen Kesehatan bersama Badan POM dan Kementerian Negara Lingkungan Hidup dapat bekerjasama lintas departemen mengatur pelabelan produk rekayasa yang dijual bebas di pasar. Dengan demikian, masyarakat sebagai konsumen dapat membedakan produk yang mengandung GMO (Genetical Modified Organism).
Keterlibatan masyarakat dalam pengawasan perlindungan lingkungan hidup dalam UU No. 32/2009 merupakan perkembangan bagus yang patut diapresiasi. Hal ini terlihat dalam Pasal 70 UU yang disahkan pada 3 Oktober 2009 tersebut. Dari segi pengawasan dan penegakan hukumnya, UU No. 32/2009 lebih ketat karena bukan hanya pelaku kejahatan lingkungan (biasanya pelaku usaha) yang bisa terjerat pidana tetapi juga pejabat negara yang bersangkutan. (*)
Sumber: http://www.mediaindonesia.com/webtorial/klh/index.php?ar_id=Njg4MQ==
Tidak ada komentar:
Posting Komentar